How to know if the milk products made in China or Taiwan:
With more and more milk products from China and Taiwan having problem. We really got to check where the things are produced. Here is a way to differentiate Taiwan made products and China made products : by looking at first three digits of its Bar Code.
If the 1st 3 digits are 690, 691 or 692 - China madeIf the 1st 3 digits are 471 - Taiwan made
Monday, October 20, 2008
Friday, October 17, 2008
berita
Rantauprapat (SIB)Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Kabupaten Labuhanbatu, anjlok. Tak tanggung-tanggung, kelapa sawit kini dihargai Rp300-Rp150 per kilogram, turun drastis dari harga sebelumnya mencapai Rp2000 per kilo.Anjloknya harga komoditi itu akan sangat berdampak luas bagi roda perekonomian di daerah ini. Pasalnya, masyarakat setempat sudah terlanjur mengidolakan dan bergantung pada kelapa sawit .Harga yang terjun bebas hingga ke titik terendah, Rp150/kg, memaksa petani kelapa sawit di daerah ini untuk lebih memilih membiarkan buah kelapa sawitnya busuk di pohon daripada dipanen.“Mau gimana lagi, Pak. Dipanen pun tidak ada untungnya. Malah merugi bila dihitung-hitung dengan biaya yang harus dikeluarkan. Jadi lebih baik saya biarkan. Mau menangis sebenarnya, tapi nggak tertangiskan,” keluh Sudirman, yang ditemui wartawan di ladangnya di Sigambal, Kecamatan Rantau Selatan, Labuhanbatu, Rabu (15/10).Sudirman, salah seorang petani kelapa sawit di daerah ini yang mengalami dampak anjloknya harga TBS. Biaya produksi yang harus dikeluarkannya, jauh lebih besar dibanding hasil produksi yang diterimanya.Sudirman terpaksa membiarkan TBS membusuk di ladangnya. Dia memilih tak memanen karena ruginya yang lebih besar.Menurut dia, jika hasil 3 hektar kebun sawit miliknya mampu menghasilkan 5 ton TBS per bulan, maka ia akan mendapatkan Rp 750.000. Hasil itu sangat menurun dari pendapatan sebelumnya.“Saat harga per kilonya masih Rp 1800 , maka saya dapat mengantongi 9 juta rupiah per bulan. Tapi sekarang, ongkos pekerja pun gak bisa saya tutupi. Belum lagi potongan transportnya. Jadi, buat apa diteruskan,” kesal Sudirman.Persoalan tersebut ditambah lagi dengan harga pupuk yang masih selangit. Pupuk urea terus meroket, jarang pula didapat. Sementara tanaman sawit butuh perawatan dan ketersediaan pupuk. Untuk per sak urea, petani harus menebus Rp 500.000 netto 50 kg.Keadaan ini membuat ribuan petani sawit di daerah ini kewalahan. Betapa tidak, hanya dalam tempo dua bulan terakhir, keadaan berubah drastis. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan. Apalagi petani yang berada di daerah pesisir pantai.Padahal sebelumnya, harga komoditi dimaksud sempat menyentuh angka Rp1800– Rp1900/kg. Kemudian harga sawit tersebut jatuh menjadi Rp1500/kg, selanjutnya Rp1000/kg dan berangsur hingga ke titik terendah Rp150/kg.“Saat harga masih tinggi, saya sudah memimpikan Mekkah menunaikan ibadah haji. Tapi mau gimana, beginilah dulu rejeki. Bahkan, cerita dari teman-teman yang sudah terlanjur mendaftarkan diri naik haji tahun depan, juga sudah mulai kewalahan untuk persiapannya,” ucap Sudirman.Pantauan wartawan, harga TBS di tingkat petani dan pengumpul buah, masih bervariasi. Di tingkat petani harga yang terendah mencapai Rp150/kg, maka untuk tingkat pengumpul, titik terendahnya mencapai Rp300–Rp350/kg. Harga yang berlaku di pabrik kelapa sawit (PKS) juga bervariasi. Harga tertinggi, berada di kisaran Rp600–Rp700/kg.“Dengan harga 400 per kilo saja petani sudah lebih baik membiarkan sawitnya tidak dipanen, apalagi jika menyentuh Rp150. Belum lagi biaya produksi dan perawatannya yang harus dipenuhi,” ujar Andika, salah seorang karyawan salahsatu PKS di daerah ini. (S25/p)
Subscribe to:
Comments (Atom)